Awas Kena Tipu, Kenali Situs Web Palsu
25 Maret 2025Tak lama setelah Donald Trump memenangkan masa jabatan keduanya sebagai Presiden AS pada November lalu, sebuah gambar sampul majalah The Economist beredar di internet dengan keterangan dalam beberapa bahasa.
Judulnya "Apocalypse” yang menggambarkan Trump berhadapan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, dengan deretan roket jarak jauh di latar belakang.
Beberapa komentar di bawah unggahan ini khawatir bahwa ini adalah tanda dimulainya Perang Dunia Ketiga dan spekulasi tentang penggunaan senjata nuklir. Namun, gambar sampul ini tidak pernah ada, dan The Economist tidak pernah menerbitkan cerita semacam itu. Bahkan, tidak ada gambar tersebut di arsip majalah itu.
Ini adalah salah satu taktik disinformasi yang dikenal dengan nama media spoofing. Semakin banyak media terkemuka di seluruh dunia yang melihat logo, situs web, profil media sosial, dan tampilan mereka disalahgunakan untuk menyebarkan berita palsu atau menyesatkan.
Meski strategi disinformasi ini bukan hal baru, namun semakin banyak ditemui di berbagai belahan dunia, seperti yang terlihat dari beberapa contoh terbaru.
Salah satunya adalah tangkapan layar artikel palsu dari CNN yang mengklaim bahwa sistem satelit Starlink milik Elon Musk menyebabkan pemadaman listrik di Ukraina setelah kunjungan kontroversial Presiden Volodymyr Zelenskyy ke Gedung Putih.
Atau website palsu majalah berita Jerman Der Spiegel yang mengklaim "Sanksi terhadap Rusia Merusak Ekonomi Jerman.”
Ada pula website tiruan dari surat kabar Perancis Le Parisien yang menyebutkan bahwa imigran ilegal menjadi ancaman bagi Olimpiade Paris.
Selain itu, terdapat cerita dengan logo situs hiburan E! News yang mengklaim bahwa USAID telah mensponsori perjalanan selebritas ke Ukraina.
Tim Pemeriksaan Fakta DW telah membongkar klaim tersebut yang disebarkan oleh pemilik X (sebelumnya Twitter), Elon Musk, yang memiliki 220 juta pengikut, dan Donald Trump Jr., anak Presiden AS, yang memiliki 14,7 juta pengikut di X.
Namun, masalah ini bukan hanya terjadi di AS dan Eropa. Media di seluruh dunia, dari Haaretz di Israel hingga La Prensa di Nikaragua, sudah menjadi korban pencurian identitas seperti ini.
Selain itu, para ilmuwan di Nigeria juga menyelidiki banyak profil media sosial palsu, khususnya di Facebook, dari dua surat kabar berbahasa Inggris, Vanguard dan Daily Trust.
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi dengan masalah disinformasi ini dan apa dampaknya? Dan yang paling penting: bagaimana cara mengetahui apakah berita yang kamu konsumsi berasal dari sumber yang terpercaya?
Dari manipulasi foto hingga media spoofing yang canggih
Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa berita palsu dapat muncul dalam berbagai bentuk: mulai dari gambar yang diubah untuk memanipulasi teks atau logo media, hingga situs web atau profil media sosial yang sepenuhnya meniru organisasi media terkenal, yang dikenal dengan istilah media spoofing.
Beberapa pemalsuan juga menggunakan teknologi kecerdasan buatan. Biasanya, pemalsuan ini berkembang pesat saat peristiwa besar seperti pemilu, perang, bencana alam, atau krisis ekonomi terjadi.
Menurut Newsguard, sebuah layanan pemantauan disinformasi dan media asal AS, sejak 2018 ada 40 organisasi media terkemuka yang terkena pemalsuan seperti ini. Dan masalah ini terus berkembang setiap tahunnya.
Sebagian besar kasus yang ditemukan terkait dengan operasi pengaruh Rusia yang menyebarkan narasi anti-Ukraina dan anti-Barat.
Salah satu operasi ini dikenal sebagai kampanye doppelgänger yang dimulai setelah Rusia menginvasi Ukraina.
Pada Juni lalu, Kementerian Luar Negeri Jerman menerbitkan laporan teknis yang menjelaskan bagaimana negara itu terkena dampak dari operasi Rusia ini, termasuk "puluhan kloning situs web media arus utama."
McKenzie Sadeghi, yang menulis analisis untuk Newsguard, menjelaskan bahwa jenis disinformasi ini mengikuti pola yang mirip: Klaim-klaim tersebut diposting massal oleh akun-akun yang tidak mencolok di platform seperti Telegram. Beberapa klaim kemudian diambil oleh tokoh-tokoh terkenal, baik dengan sengaja atau tidak.
"Pemalsuan ini semakin populer dan akhirnya masuk ke media negara Rusia yang mengutip tokoh-tokoh terkenal di media sosial yang membagikan klaim tersebut, alih-alih mencantumkan sumber asli dari Telegram, sehingga asal usulnya tertutup sepenuhnya,” ungkapnya.
Mencemarkan reputasi jurnalisme online
Menurut Newsguard, media yang paling banyak dipalsukan adalah BBC, CNN, Al Jazeera, kelompok jurnalisme investigatif Bellingcat, Fox News, The Wall Street Journal, dan USA Today. DW juga menjadi target dalam beberapa tahun terakhir.
Namun, pola, tema, dan aktor-aktor yang terlibat tidak selalu sama, karena ada perbedaan yang jelas secara regional.
Di Nigeria, situs web palsu dari Vanguard dan Daily Trust menyebarkan rumor tentang topik-topik seperti pandemi COVID-19, pemberontakan Boko Haram, atau harga minyak—isu-isu yang sangat relevan dalam perdebatan politik lokal.
"Website atau situs web media palsu adalah masalah besar dan memiliki potensi untuk merusak kredibilitas dan kualitas jurnalisme online, opini publik, proses demokrasi, dan kohesi sosial,” papar Abubakar Tijjani Ibrahim, seorang penulis studi dan dosen di Kano State Polytechnic di Nigeria.
Ia menambahkan bahwa, karena situs-situs kloning ini kekurangan etika profesional dan pengamanan, "pengelola situs seringkali cenderung sensationalis dan menyajikan topik dengan cara yang provokatif."
Bagaimana cara memeriksa konten?
Periksa keaslian informasi dengan memadukan pengamatan kritis dan analisis dengan penggunaan alat yang dapat memberikan petunjuk berharga (meskipun tidak selalu sempurna).
Saran pertama adalah mencari kesalahan ejaan atau tata bahasa, serta jarak yang tidak rata atau teks yang buram.
Jika kamu ragu, buka jendela browser terpisah, buka mesin pencari, dan cari langsung situs berita yang asli.
Bandingkan penampilan dan tampilan kedua situs tersebut. Apakah ada yang tampak aneh?
Saat berada di situs asli, coba cari kata kunci tentang informasi yang dimaksud untuk melihat apakah itu muncul di sana.
Kamu juga bisa memeriksa media lainnya. Perbandingan silang selalu penting. Jika ada yang tidak beres, kemungkinan besar cerita itu palsu.
Untuk tangkapan layar, kamu bisa menggunakan pencarian gambar terbalik, seperti melalui Google Images atau Tin Eye. Ini bisa memberi petunjuk apakah gambar tersebut sudah digunakan sebelumnya dan apakah cerita tersebut sudah terbukti salah.
Pencarian gambar terbalik dari sampul The Economist yang berjudul "Apocalypse" menghasilkan beberapa pemeriksaan fakta yang membantah keaslian sampul tersebut.
Untuk profil media sosial palsu, Ibrahim menyarankan untuk memeriksa apakah profil tersebut menyertakan tautan ke kontak resmi organisasi berita tersebut.
Salah satu klon yang dianalisisnya di Facebook malah menawarkan akun Gmail sebagai kontak.
Untuk situs web berita palsu, URL atau alamat web adalah petunjuk penting. Pencarian Google biasanya akan memberikan alamat situs yang benar. Cermati situs yang dipalsukan dan perhatikan perbedaannya.
Ingat situs palsu Le Parisien yang disebutkan sebelumnya? Di sana, URL berakhiran ".top", sementara URL resmi berakhiran ".fr".
Hal yang sama terjadi pada situs Spiegel: Situs resmi adalah www.spiegel.de, sementara situs palsunya adalah www.spiegel.ltd.
McKenzie Sadeghi dari Newsguard menjelaskan bahwa langkah selanjutnya bisa dengan memeriksa entri registrasi domain, misalnya di platform Go Daddy atau di Who.is.
Kesimpulannya, tetaplah waspada dan pastikan memeriksa dengan seksama apakah berita yang kamu baca benar-benar berasal dari sumber yang terpercaya.
*Diadaptasi dari artikel berbahasa Jerman