Apa Faktor Psikologi di Balik Serangan Mobil di Jerman?
7 Maret 2025Perayaan karnaval berujung duka. Senin (03/03) lalu terjadi insiden di alun-alun Kota Mannheim, Jerman, di mana sebuah mobil menabrak orang banyak dan menyebabkan kematian. Kejadian ini menarik perhatian karena sebelumnya ada kekhawatiran tentang kemungkinan serangan teror selama masa perayaan Karnaval di Jerman.
Peristiwa ini terjadi setelah peringatan berminggu-minggu sebelumnya bahwa serangan teror dikhawatrirkan mungkin bisa terjadi selama periode prafestival Paskah di Jerman.
Namun, serangan kali ini tampaknya tidak dimotivasi oleh faktor politik atau agama, dan pihak berwenang sedang menyelidiki kesehatan mental tersangka sebagai kemungkinan penyebabnya.
Namun, pilihan kendaraan sebagai ”senjata mematikan” dalam insiden ini dan dalam serangan yang menewaskan sejumlah orang di München dan Magdeburg dalam beberapa minggu terakhir menyisakan pertanyaan: Mengapa menyerang dengan menggunakan mobil?
Serangkaian serangan di Jerman menjadikan mobil sebagai senjata
Mobil memang berguna, tetapi ukuran, kecepatan, dan kemampuan manuvernya juga berpotensi mematikan.
Meskipun jarang digunakan sebagai senjata, dalam beberapa tahun terakhir mobil lebih sering digunakan untuk membunuh atau melukai orang. Mobil menjadi senjata teror yang menonjol selama serangkaian insiden di Israel di tengah konflik yang sedang berlangsung dengan kelompok militan lokal selama awal tahun 2010-an.
Penggunaan kendaraan untuk menabrak dengan mobil ruang publik dilakukan oleh kelompok islamic State (ISIS) pada pertengahan tahun 2010-an. Di Eropa, serangan di Nice di mana 86 orang tewas dalam serangan truk, lalu serangan di Jembatan Westminster di London, Barcelona, dan Berlin termasuk di antara insiden yang paling menonjol dan mematikan. Mobil juga telah digunakan dalam serangkaian serangan di Cina.
Banyak dari serangan ini memiliki motivasi agama dan politik dan terjadi setelah beberapa kelompok islamis radikal menyerukan potensi serangan menggunakan kendaraan yang mudah diakses.
Sementara tiga insiden baru-baru ini di Jerman tidak memiliki kesamaan ideologi. Pelaku yang diduga melakukan serangan di Magdeburg diyakini sebagai warga negara Arab Saudi dengan keyakinan anti-Islam. Sebaliknya, tersangka pembunuhan di München mungkin memiliki motivasi proislamis, demikian menurut jaksa penuntut.
Tersangka yang menjadi pusat serangan di Mannheim diyakini sebagai individu kelahiran Jerman yang tidak memiliki riwayat kecenderungan ekstremis.
Kesamaan mereka adalah mobil
Pada tahun 2018, sosiolog budaya dan pakar studi budaya Vincent Miller dan kriminolog Keith Hayward bersama-sama menulis sebuah studi tentang sifat tabrakan mobil sebagai peristiwa "imitatif".
Mereka berpendapat bahwa hal itu bekerja seperti "meme", menawarkan model bagi orang lain untuk ditiru, bukan motivasi ideologis.
Miller menunjuk pada peristiwa yang baru-baru ini di Cina, yang digambarkan sebagai serangan "balas dendam terhadap masyarakat" dan mengakibatkan para pelaku dijatuhi hukuman mati.
"Orang-orang yang melakukan ini sering kali merasa sangat dirugikan, ada rasa ketidakadilan di sana, rasa marah," kata Miller kepada DW.
Setelah serangan semacam itu, mungkin hanya ada sedikit bukti pasti tentang motif politik atau agama. "Sering kali, serangan itu sangat spontan atau sangat tergesa-gesa," tambah Miller.
"Mereka adalah individu yang sangat beragam: Beberapa mungkin radikal muslim, beberapa mungkin aktivis sayap kanan Amerika Serikat, beberapa orang memiliki masalah kesehatan mental. Profil pelaku sangat sulit untuk didefinisikan. Hal utama yang mereka miliki adalah tindakannya," paparnya.
Bahkan tujuh tahun setelah menulis makalahnya, Miller tetap berpegang pada argumen utama bahwa hal yang sama dari serangan-serangan ini mungkin adalah paparan terhadap tindakan tersebut. Pemaparan psikologinya kurang mudah untuk dijelaskan.
"Secara tidak sadar, hal itu menjadi bagian dari pilihan bagi orang-orang untuk mengekspresikan kemarahan mereka dengan cara tertentu dan mereka terpapar olehnya melalui vektor media dan media sosial."
Apa yang dapat dilakukan untuk mencegah serangan semacam itu di masa mendatang?
Pauline Paillé, seorang spesialis keamanan internasional di RAND Europe, turut menyusun laporan tahun 2022 untuk Komisi Uni Eropa (UE) yang menjajaki cara-cara untuk mencegah serangan tabrak mobil.
"Agak sulit untuk memahami apa motivasinya dan apakah ada pola yang sebenarnya atau hanya kumpulan kejadian yang terisolasi," ujar Paillé kepada DW.
"Saya tidak menganggap ini ancaman yang unik di Eropa dan berkenaan dengan psikologi, saya rasa hal itu sangat bergantung pada jenis motivasi dan tujuan politik yang dimiliki oleh mereka yang menyerang," ungkapnya.
Laporan RAND untuk Komisi UE menyelidiki bagaimana akses ke kendaraan dapat dibatasi, terutama melalui skema sewa atau peer-to-peer, yang digunakan oleh tersangka dalam penabrakan mobil di New Orleans dan ledakan di Las Vegas baru-baru ini.
Meningkatkan hambatan untuk akses kendaraan sewaan dapat menjadi langkah yang berguna. Menegakkan persyaratan identifikasi yang lebih kuat, setoran keuangan, dan pemeriksaan latar belakang adalah semua pilihan yang bisa dilakukan sebagai langkah mitigasi.
Geofencing, yang menciptakan batas virtual yang memungkinkan pihak berwenang untuk menerapkan pengaturan dari jarak jauh ke kendaraan pintar, dapat menghalangi serangan dengan mobil di masa mendatang. Namun agar teknologi tersebut berfungsi, insiden tersebut harus segera diidentifikasi.
Kawasan perkotaan yang dirancang lebih baik dapat menjadi salah satu cara mitigasi yang paling sederhana. Paillé menunjuk pada pembuatan jalan dan jalur pejalan kaki yang terpisah sebagai contoh.
"Hal-hal yang mempersulit kendaraan untuk mengakses ruang tertentu… Saya merasa hal itu cukup menarik dalam hal memikirkan ruang publik dan memastikannya dapat digunakan oleh warga biasa tetapi juga dapat membantu menjaga keselamatan mereka," ujarnya.
Tiang pembatas adalah salah satu pilihan, dan umumnya digunakan di area yang padat penduduk:
"Penghalang fisik ... dapat menjadi pencegah, tetapi sulit untuk menilai apakah itu bisa mencegah atau apakah orang akan beralih ke cara lain dalam melakukan kekerasan," pungkasnya.