Anggaran Danantara: Benarkah akan Incar Dividen BUMN?
25 Maret 2025Danantara digadang-gadang akan menjadi salah satu Sovereign Wealth Fund (SWF) terbesar di dunia, pendirian Danantara diklaim akan menggunakan dana sekitar Rp326 triliun dari efisiensi anggaran kementerian atau lembaga. Namun, dana tersebut juga dialokasikan untuk pendanaan Makan Bergizi Gratis (MBG), salah prioritas Presiden Prabowo Subianto, yang membutuhkan biaya sangat besar.
SWF dari defisit fiskal
Peneliti dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Teuku Riefky, menjelaskan bahwa sejatinya SWF dibentuk untuk mengelola surplus fiskal suatu negara.
"Yang menjadi isu sekarang adalah, di Indonesia itu kita tidak memiliki surplus fiskal, malah fiskal kita itu defisit," kata Teuku Riefky kepada DW Indonesia, dikutip Maret 2025.
Dia mencontohkan SWF Norwegia dan negara Arab yang sukses mengelola surplus fiskal.
Sementara Eddy Junarsin, ekonom dari Universitas Gadjah Mada, menyatakan bahwa pendirian Danantara tidak memerlukan dana besar. Superholding company ini memang butuh biaya, tapi hanya untuk "working capital."
"Karena yang menjadi esensi Danantara adalah aset yang dikelola," jelas Eddy Junarsin, sambil memperkirakan bahwa uang sebesar Rp100 triliun sudah cukup untuk pendirian awal Danantara.
Danantara , kata Edddy, tidak melakukan investasi awal, melainkan melakukan konsolidasi aset-aset dari 7 BUMN awal. Oleh karena itu, Danantara berstatus sebagai parent company dari BUMN yang akan dikelolanya.
Danantara akan pakai uang dari dividen BUMN?
Menurut Teuku Riefky, Danantara tidak serta-merta memiliki hak untuk langsung mengambil profit dari BUMN yang dikelolanya, terkecuali dari sisi dividen.
Namun, tetap hal itu dinilainya tidak akan bertahan lama atau sustainable.
Riefky menyebut bahwa pencaplokan profit ini secara realistis tidak semestinya untuk dilakukan. Sebab hal itu juga akan berpengaruh kepada kesehatan keuangan BUMN tersebut. "Jadi memang rasanya terkesan agak dipaksakan," ujar dia.
Sementara, Eddy Junarsin mengemukakan bahwa Danantara sah-sah saja untuk mengambil keuntungan dari BUMN yang dikelolanya. Hanya saja, kata dia, Danantara perlu menerapkan prinsip good governance.
Karena, jelas Eddy, status Danantara sebagai parent company akan memberikannya keleluasaan untuk meminta dividen dari BUMN yang dibawahinya.
Skema dividen dan keberlanjutan
Eddy menjelaskan bahwa sebetulnya tidak sulit untuk menghitung skema keuntungan Danantara secara ekonomi.
Namun, dia juga mengingatkan bahwa pembagian keuntungan "harus dilakukan setelah anak usaha tersebut cukup untuk melakukan reinvestasi" pada sejumlah proyek di masa depan.
Kata Eddy, Danantara harus memastikan belanja modal atau capital expenditure BUMN tersebut sebelum menghitung laba bersih yang sudah direinvestasikan. Setelahnya, baru bisa dialokasikan untuk keuangan pemerintah. "Tiap perusahaan itu perlu capital expenditure ke depannya," sambungnya.
Hanya saja jika terjadi kerugian, Danantara harus punya contingency plan. Misalnya melakukan pelepasan saham sedikit demi sedikit, jika performa perusahaan itu buruk.
"Paling tidak (Danantara) lebih transparan, walau pun belum berhasil. Danantara lebih terang (keuangannya)," imbuhnya.
Eddy menyebut godaan untuk mencairkan keuntungan dari BUMN itu muncul dengan adanya Danantara. Oleh sebab itu, pemerintah harusnya juga belajar dari SWF Kazahkstan yang dimintai dividen untuk menutupi defisit anggaran pemerintahannya.
Ancaman di masa depan
Selain permasalahan transparansi keuangan dan independensi pengurusnya, Eddi menilai ada bom waktu di masa depan untuk Danantara. Eddy mengkhawatirkan adanya fenomena groupthink atau kecenderungan meng-iya-kan hal yang dikatakan para pemimpin terlepas dari baik atau buruknya. Hal ini berpotensi akan mengurangi kreativitas BUMN yang dikelola Danantara.
Jebakan fenomena ini, papar Eddy, dapat berujung pada rasa nyaman BUMN untuk tidak melakukan eksplorasi dan inovasi. Sehingga, mereka hanya akan menjalankan perusahaan layaknya "business as usual."
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Dengan adanya status parent company, Eddy mencemaskan munculnya pola pikir pengurus BUMN yang hanya mengikuti perintah atau komando dari pimpinan Danantara.
"Jadi, ini akan membuat lebih banyak perilaku untuk seek of fun, lebih ingin ke memuaskan penguasa (Pihak Danantara). Jadi ada potensi itu," terangnya.
Selain itu, Eddy juga mengingatkan pentingnya pencegahan korupsi dalam perputaran pengelolaan aset Danantara tersebut. Berkaca dari SWF dunia yang sempat gagal, masalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), hingga politisasi masih menjadi momok yang harus dikhawatirkan Danantara.
"Kalau yang dilakukan Indonesia fokusnya ke pemberantasan korupsi, investor tentunya nggak suka, kan ketidakpastiannya tinggi. Jadi yang diinginkan investor adalah pencegahannya," sebutnya, sambil menambahkan bahwa Danantara juga bisa menjadi momentum perubahan untuk BUMN di Indonesia dalam hal tata kelola dan pencegahan korupsi.
Editor: Arti Ekawati