Kesenjangan di Asia Tenggara Melebar Akibat Tarif Trump?
12 Agustus 2025Banyak negara Asia Tenggara menghela napas lega setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump melunakkan ancaman tarif impor. Meski Washington tetap menjatuhkan penalti, kawasan ini berhasil menegosiasikan bea masuk jauh lebih rendah dibanding banyak wilayah lain di dunia.
Kamboja, misalnya, mendapat tarif 19 persen, turun drastis dari ancaman awal 49 persen yang, menurut presiden AS, diperlukan untuk "mengoreksi” defisit perdagangan. Menurut juru runding perdagangan Kamboja, Sun Chanthol, tarif 49 persen akan "meruntuhkan” industri garmen yang menjadi urat nadi ekonomi negara. Sektor ini mempekerjakan sekitar 800 ribu orang, sebagian besar perempuan dari desa-desa.
Vietnam—yang memiliki salah satu surplus perdagangan terbesar dengan AS—juga berhasil menekan tarif menjadi 20 persen, dari ancaman 46 persen pada April lalu. Thailand, Malaysia, Indonesia, dan Filipina sama-sama mengantongi tarif 19 persen. Singapura mendapatkan bea dasar paling rendah yakni 10 persen.
Hanya Myanmar dan Laos yang bernasib apes, karena dikenakan tarif sebesar 40 persen, yang sekaligus menempatkan mereka di jajaran negara paling terdampak di dunia.
India kena 50 Persen, Asia Tenggara tersenyum
Pemerintahan negara-negara di Asia Tenggara menganggap hasil negosiasi kilat dengan AS sebagai kemenangan diplomatik. Kepuasan terutama merebak di negara-negara dengan sektor tekstil dan garmen terbesar, karena pesaing utama India pekan lalu dihantam tarif 50 persen untuk ekspor ke AS. Pukulan ini, kabarnya, mendorong sebagian produsen India melirik Asia Tenggara untuk merelokasi pabrik.
Namun demikian, para analis mengingatkan betapa dampak kenaikan tarif terhadap rumah tangga baru akan terasa dalam beberapa bulan mendatang. Sebagai bagian dari kesepakatan tarif, hampir semua negara Asia Tenggara sepakat memangkas pajak impor dari AS menjadi nyaris nol—kebijakan yang, menurut Zachary Abuza, profesor di National War College, "pasti membantu kalangan kaya membeli barang mewah”, tapi tak banyak manfaat untuk masyarakat luas.
Budy Resosudarmo, ekonom pembangunan dan lingkungan di Australian National University, menilai kebijakan Trump "pasti berdampak negatif pada masyarakat Asia Tenggara, termasuk kelompok miskin.”
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Dari tekstil ke teknologi tinggi?
Asia Tenggara menikmati pertumbuhan ekonomi kuat selama puluhan tahun, tapi ketimpangan distribusi kekayaan tetap menjadi ganjalan. Tarif baru AS bisa memengaruhi kesenjangan ini, misalnya dengan memukul sektor padat karya seperti garmen. "Modal bisa beralih ke industri teknologi yang menyerap tenaga kerja lebih sedikit," kata Wannaphong Durongkaveroj, ekonom di Universitas Ramkhamhaeng, Thailand.
Jika peralihan itu mulus, dampaknya akan minim. Tapi bila tersendat, bagian ekonomi yang paling banyak menyerap pekerja justru akan terkena pukulan ganda.
Malaysia pertaruhkan ekspor semikonduktor
Tak ada jaminan sektor teknologi akan lolos dari ancaman tarif. Pekan lalu, Trump mengumumkan penalti 100 persen untuk chip semikonduktor impor—kecuali bagi perusahaan yang sudah atau sedang membangun pabrik di AS.
Bagi Malaysia, industri semikonduktor adalah soal hidup-mati. Negeri itu mengekspor semikonduktor senilai USD14 miliar ke AS tahun lalu, mempekerjakan sekitar 80 ribu orang. Kuala Lumpur menyatakan chip-nya bebas dari tarif timbal balik 19 persen, tapi belum jelas apakah pengecualian AS ini akan konsisten.
Banjir barang murah dari Cina
Dampak lain yang dikhawatirkan adalah kenaikan pengangguran atau stagnasi upah jika impor ke Asia Tenggara melonjak akibat negara lain mencari pasar selain AS. Bahkan sebelum Trump kembali ke Gedung Putih Januari lalu, sudah ada kekhawatiran Cina akan membanjiri kawasan ini dengan surplus barang.
Data resmi Cina menunjukkan, ekspor global mereka naik 7,2 persen pada Juli dibanding setahun sebelumnya, tapi pengiriman ke Asia Tenggara melonjak 16,6 persen. Sebaliknya, ekspor ke AS anjlok lebih dari seperlima.
Hwok-Aun Lee, peneliti senior ISEAS–Yusof Ishak Institute di Singapura, memperingatkan efek langsungnya akan terasa pada upah, dengan konsekuensi jangka panjang berupa lambannya akumulasi kekayaan pekerja dan kian lebarnya ketimpangan.
Mimpi buruk bernama ‘Transshipment'
Kekhawatiran terbesar justru datang dari rencana AS mengenakan tarif 40 persen untuk ekspor yang dikategorikan sebagai transshipment—barang dari negara asal yang transit di negara lain untuk dilabel ulang atau sedikit diubah, lalu dikirim ke tujuan akhir.
Washington menargetkan barang asal Cina yang diekspor ke AS lewat negara Asia Tenggara. The New York Times melaporkan, Gedung Putih akan mengeluarkan aturan definisi transshipment "dalam beberapa pekan”.
Masalahnya, banyak pekerjaan manufaktur di Asia Tenggara bergantung pada bahan baku dari Cina yang hanya dimodifikasi atau dirakit sebelum dikirim ke AS. Jika definisinya terlalu luas, analis memperingatkan, seluruh industri bisa gulung tikar.
Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
Editor: Agus Setiawan