Ageism, Saat Usia Jadi Penghalang Mencari Pekerjaan
4 Juli 2025Siang itu, Mugiono berdiri di tengah kerumunan pelamar kerja di sebuah bursa kerja di GOR Tanjung Duren, Jakarta Barat. Ia datang bersama dengan anak dan istrinya. Tujuan awalnya untuk menemani sang anak yang baru lulus kuliah mencari pekerjaan. Di saat yang sama, pria 48 tahun itu juga berharap kembali mendapatkan pekerjaan.
"Di usia saya, harusnya waktu untuk santai-santai, bukan untuk mencari pekerjaan. Kalau kerja harusnya sudah (karyawan) tetap, tapi karena perusahaan ada lay-off, kita harus terima," ujarnya.
Mugiono tak pernah membayangkan, setelah bertahun-tahun bekerja di industri minyak dan gas, ia harus kembali mencari-cari kerja. Puluhan lamaran sudah ia kirim ke berbagai perusahaan. Namun, tak satu pun berbuah panggilan. Mugiono sadar, usianya berpotensi menjadi tembok pembatas.
Cerita senada datang dari Luluk. Dua tahun lalu, Luluk memutuskan mundur dari pekerjaannya untuk fokus mengurus anak. Namun, ketika dia sudah merasa siap kembali ke dunia kerja, ternyata jalannya tak semudah dulu.
"Sekarang itu banyak lowongan ada batas usianya. Biasanya batas maksimal rata-rata 25 sampai 30 tahun. Sedangkan usia saya sudah lebih dari 30 tahun. Itu benar-benar membuat batasan untuk saya," ujar Luluk.
Dengan pengalaman bekerja sebagai wartawan, Luluk merasa masih punya semangat dan kemampuan. Namun, usianya juga seolah menjadi pembatas. Dalam setahun belakangan mencari pekerjaan, perempuan berusia 32 tahun ini sering kali menemukan lowongan yang tampak cocok, tapi harus berhenti terlalu berharap saat membaca ada syarat "usia maksimal 30 tahun".
Luluk memang tetap mengirim lamaran, meski hingga kini belum ada panggilan.
Ageism, diskriminasi berdasarkan usia, tak terlihat tapi jamak
Mugiono dan Luluk hanyalah dua dari banyak pencari kerja usia produktif yang menghadapi ageism di pasar kerja Indonesia. Menurut WHO, ageism adalah bentuk stereotip, prasangka, dan diskriminasi terhadap seseorang semata karena usianya.
Dalam konteks pasar kerja, ini bisa berarti memberi ketimpangan akses bagi individu berdasarkan usia. Ageism atau diskriminasi usia bisa hadir dalam bentuk gamblang, seperti batasan usia maksimal di pengumuman lowongan.
Menurut Telisa Felianty, ekonom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia, diskriminasi usia banyak didasarkan pada asumsi. Banyak perusahaan masih mengartikan usia dengan produktivitas dan efisiensi biaya. Imbasnya, ada stigma pekerja yang lebih tua akan menjadi beban terhadap perusahaan.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
"Ada perusahaan yang menerjemahkan produktivitas itu dengan usia. Mereka juga enggan merekrut pekerja yang lebih tua karena dianggap gajinya akan lebih tinggi, atau terlalu berpengalaman untuk posisi yang ditawarkan," ujar Guru Besar FEB Universitas Indonesia itu.
Asumsi inilah yang menyebabkan banyak pekerja berusia 30 tahun ke atas mulai tersingkir dari persaingan, meski masih berada di usia produktif.
Melebihi persoalan rekrutmen
Dari sisi politik ketenagakerjaan, diskriminasi usia juga mencerminkan struktur kekuasaan yang timpang antara pemberi kerja dan pencari kerja. Menurut Irwansyah, dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia, banyak kebijakan rekrutmen yang sebenarnya memiliki unsur ketimpangan antara pemberi dan pencari kerja.
"Misalnya, syarat perpenampilan menarik, usia. Itu seolah-olah kultural, tapi sebenarnya struktur kekuasaan yang dilakukan oleh pemberi kerja, kemudian terbentuk menjadi sesuatu yang dinormalkan. Semua pada intinya melemahkan daya tawar pekerja secara individual," tutur pria yang akrab disapa Jemi itu.
Irwansyah menambahkan persoalan diskriminasi usia ini juga berdampak lebih dari sekadar persoalan rekrutmen. "Diskriminasi usia juga memberikan pesan, seolah-olah usia menjadi hal yang membatasi orang memaksimalkan dirinya dalam hal bekerja," tambahnya.
Diskriminasi usia juga memiliki dimensi gender. Perempuan lebih terdampak oleh kebijakan diskrimasi usia akibat beban ganda dalam keluarga. Banyak perempuan yang memilih keluar sementara dari pasar kerja dengan alasan mengurus keluarga atau anak, seperti Luluk.
Menurut Bank Dunia (2022), hampir 40% pekerja perempuan Indonesia keluar dari pasar kerja karena pernikahan atau kelahiran anak. Sayangnya, keinginan mereka untuk kembali bekerja terhambat dengan adanya syarat usia.
"Ada pikiran bahwa ibu rumah tangga udah lama enggak kerja, pasti sudah lupa. Padahal semangat itu masih ada. Kami cuma butuh kesempatan," kata Luluk.
Minim regulasi, apakah Surat Edaran Menaker cukup?
Hingga kini belum ada regulasi yang mengatur secara tegas tentang batasan usia di lowongan pekerjaan. Di tahun 2024, aturan ini pernah dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, MK menolak permohonan tersebut.
Salah satu argumen hakim MK tidak melarang pembatasan usia pada pekerjaan yakni karena ada pekerjaan yang dianggap membutuhkan batas usia tertentu. Selain itu, MK menilai usia tidak masuk dalam kategori diskriminasi dalam UU HAM di Indonesia.
Baru pada Mei 2025, Kementerian Ketenagakerjaan mengambil langkah lewat surat edaran (SE) yang melarang adanya pembatasan usia maksimal dalam lowongan kerja. Meski diapresiasi sebagai langkah awal, surat edaran tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara penuh seperti peraturan perundang-undangan.
Jadi dalam hal ini, Indonesia bisa sedikit banyak belajar ke Filipina, yang sejak 2016 sudah mengesahkan Anti‑Age Discrimination in Employment Act. Aturan ini melarang diskriminasi usia mulai dari pengumuman lowongan, proses rekrutmen, promosi, hingga pemutusan kerja. Hukum ini dilengkapi pengecualian untuk bidang tertentu dan punya konsekuensi hukum jelas.
Menakar potensi bonus demografi yang terbuang
Diskriminasi usia juga berdampak pada aspek ekonomi di tengah bonus demografi yang sedang dialami Indonesia. Saat ini, 69% penduduk berada di usia produktif dalam rentang usia 15–64 tahun. Namun, menurut Telisa, praktik diskriminasi usia ini akan sangat merugikan jika banyak pelamar dari kelompok usia produktif terpinggirkan hanya karena persoalan umur.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), hingga Februari 2025, jumlah angkatan kerja Indonesia mencapai 153 juta orang. Dari jumlah itu, 7,28 juta orang masih menganggur. Angka ini menunjukkan bahwa masih banyak tenaga kerja produktif yang belum terserap.
Telisa mengingatkan, "Diskriminasi usia bisa membuat ekonomi nasional tidak mencapai level potensi optimalnya, karena ada penduduk muda yang seharusnya produktif dan berada di level puncak produktivitas, tapi malah tidak terserap."
Sebuah studi tahun 2020 oleh OECD menunjukkan bahwa menciptakan pasar kerja tanpa diskriminasi usia dapat meningkatkan PDB per kapita hingga 19% dalam 30 tahun.
Selain itu, Telisa menambahkan, bahwa "pasar kerja yang fleksibel tanpa segregasi usia bisa lebih menyerap guncangan. Tapi kalau rigid, justru lebih rentan terhadap krisis."
Sambil mengurus anak, Luluk masih terus melamar kerja dan mengisi kesibukan dengan menjual buku klasik lewat media sosial. Sementara, Mugiono masih menunggu panggilan yang belum datang, karena ada kebutuhan keluarga yang harus terus dipenuhi. Ia bersiap berwirausaha jika dalam dua tahun belum mendapat pekerjaan baru.
Keduanya menyatakan tidak ingin dikasihani karena belum mampu kembali masuk ke dalam pasar kerja. Mereka hanya ingin diberi kesempatan dengan akses setara.
"Sebenarnya kita tuh bisa bersaing dengan mereka yang muda-muda. Walaupun dari segi umur kita beda, tapi kita punya pengalaman. Mereka (perusahaan) bisa menilai dari pengalaman kita," tutup Mugiono.
Editor: Arti Ekawati