Afganistan: Empat Tahun di Bawah Kekuasaan Taliban
14 Agustus 2025Agustus 2021, ketika kota Kabul jatuh ke tangan Taliban, banyak yang mengira kekuasaan para jihadis hanya akan berlangsung sementara. Kebanyakan pengamat percaya, negeri di kaki Pegunungan Hindu Kush itu akan terisolasi di bawah kendali kelompok radikal Islam.
Namun empat tahun berselang, keyakinan itu perlahan runtuh.
Kini Taliban kokoh di puncak kekuasaan. Begitu kokoh hingga banyak pemerintahan Eropa—termasuk Jerman—mulai merayap dalam menormalisasi hubungan dengan pemerintahan de facto di Kabul, dan menjadikan mereka mitra bicara resmi.
Awal Juli lalu, Rusia menjadi negara pertama yang secara resmi mengakui pemerintahan Taliban. "Dengan begitu, Rusia mengambil alih peran yang sebelumnya dimainkan Amerika Serikat di Afganistan—peran yang ditinggalkan sukarela saat menarik pasukan empat tahun lalu,” kata Sardar Rahimi, peneliti hubungan internasional di Universitas Inalco, Paris, yang mengkhususkan diri pada bahasa dan budaya Timur.
Cina pun berusaha membina hubungan ekonomi dan diplomatik erat dengan pemerintahan Taliban, meski belum memberi pengakuan resmi. Namun pada Januari 2024, Presiden Xi Jinping sudah menerima duta besar Taliban di Beijing dengan protokol kenegaraan lengkap di Aula Besar Rakyat.
Bagi pemerintahan komunis di Beijing, Afganistan penting untuk mendorong proyek infrastruktur global, Inisiatif Sabuk dan Jalan. Hak eksploitasi dan ekspor bahan tambang berharga dari Afganistan juga diharap bisa menopang ledakan produksi industri di Negeri Tirai Bambu.
Deportasi dari Jerman
Meski menolak Taliban secara politik, Jerman tetap membuka kanal komunikasi lewat Qatar. Menurut Rahimi, demi bisa mendeportasi pengungsi ke Afganistan, negara-negara Barat mau tak mau harus berurusan langsung dengan penguasa di Kabul, hingga bahkan memberi konsesi tertentu.
Sejak Taliban berkuasa, Jerman telah mengirimkan dua penerbangan deportasi ke Afganistan. Total sebanyak 109 warga negara Afganistan dipulangkan, 56 di antaranya terpidana kejahatan.
Kelompok HAM seperti Pro Asyl mengecam aksi deportasi karena dianggap "pelanggaran mencolok terhadap hukum internasional.” Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia melarang pemulangan ke negara yang berpotensi melakukan perlakuan tidak manusiawi.
Agar deportasi bisa dilakukan, pemerintah Taliban harus lebih dulu mengesahkan kewarganegaraan, biasanya lewat penerbitan paspor atau dokumen pengganti. Setelah itu, pengungsi baru bisa diterbangkan ke Kabul. Proses ini memerlukan negosiasi intensif.
Negara Barat, kata Rahimi, harus mengakui kenyataan bahwa Taliban kini mengontrol seluruh aspek kehidupan publik di Afganistan. Inilah landasan hubungan negara-negara lain dengan rezim di Kabul. Taliban sendiri irit bicara soal pertemuan dengan negara-negara seperti Jerman. Bagi mereka, fakta bahwa Barat meminta bicara sudah merupakan kemenangan besar.
Menteri Luar Negeri Jerman Johann Wadephul membenarkan adanya kontak teknis dengan Taliban. "Koneksi ini murni soal praktis, bukan politik apalagi hukum,” ujarnya kepada RedaktionsNetzwerk Deutschland. "Kami harus berbicara dengan banyak pemerintahan atau rezim yang pandangan dan tindakannya tidak kami setujui. Namun, terkadang kepentingan kami mengharuskannya. Mengingkari itu berarti menolak realitas.”
Pengusiran massal dari Pakistan dan Iran
Bersamaan dengan deportasi dari Eropa, ratusan ribu pengungsi Afganistan juga diusir dari Pakistan dan Iran. Data UNHCR mencatat, hingga awal Agustus 2025, lebih dari 2,1 juta warga Afganistan kembali dari dua negara jiran, separuhnya lewat deportasi paksa.
Pakistan bahkan menghentikan perpanjangan kartu registrasi pengungsi yang dikeluarkan PBB. Mulai September, sebanyak 1,3 juta orang akan terancam dipulangkan meski memegang izin tinggal sah.
Gelombang kepulangan pengungsi menjadi tantangan besar bagi Taliban. Sebagian besar pengungsi tidak punya rumah, pekerjaan, atau sumber penghidupan. Ironisnya, krisis kemanusiaan ini justru memperkuat kekuasaan para talib. Deportasi dari Eropa hanya mungkin jika Kabul mau bekerja sama.
Namun, laporan lokal menyebut para deportan jarang bertahan lama di penjara. Taliban bungkam soal nasib mereka. Sebagian bahkan kembali menempuh perjalanan ke Eropa setelah sempat ditahan sebentar.
Catatan gelap HAM
Kelompok-kelompok pemantau independen sepakat bahwa Taliban secara sistematis menindas hak asasi dan kebebasan sipil.
Menurut Shukria Barakzai, mantan diplomat Afganistan, hak-hak perempuan dijadikan alat tawar politik. "Taliban menekan perempuan dengan pembatasan baru untuk mengukuhkan kekuasaan,” katanya.
Perempuan dilarang total tampil di ruang publik. Sebanyak 1,4 juta anak perempuan usia di atas 12 tahun dilarang sekolah. SMA dan universitas juga tertutup bagi mereka. Laporan organisasi HAM menunjukkan kekerasan berbasis gender marak di seluruh negeri.
Jurnalis dan oposisi menghadapi represi keras. Reporter without Borders mencatat, pada 2024 sedikitnya 12 media ditutup. "Taliban mengancam, menangkap, dan mengusir jurnalis, menyensor berita, serta menggerebek kantor media,” tulis mereka. Afganistan kini berada di peringkat 175 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers.
Bencana kemanusiaan
Situasi kemanusiaan di Afganistan tetap memprihatinkan. Komisi Eropa mencatat 22,9 juta orang—sparuh dari populasi di negara itu—bergantung pada bantuan internasional. WFP menyebut satu dari empat warga mengalami krisis pangan, setara 10 juta orang, sementara sepertiga anak-anak mengalami kekurangan gizi.
Krisis ini kian parah ketika AS menutup USAID pada Juli, dan menghentikan bantuan kemanusiaan. Tiga juta orang kehilangan layanan kesehatan, 420 klinik tutup.
Sejak 2021, Jerman mengucurkan 551 juta euro bantuan pembangunan, disalurkan lewat Bank Dunia, badan-badan PBB, dan LSM—tanpa melibatkan Taliban. Namun, pemerintah baru menghentikan program Bundesaufnahmeprogramm, yakni aksi untuk membawa warga Afganistan yang pernah bekerja untuk misi Jerman sebelum 2021 ke Jerman.
Sekitar 2.400 mantan pekerja lokal sudah mendapat persetujuan masuk, tapi tak kunjung memperoleh visa. Mereka kini terjebak di Iran atau Pakistan, terancam deportasi massal.
Awal Juli, Pengadilan Administrasi Berlin memerintahkan pemberian visa darurat bagi seorang perempuan Afganistan dan keluarganya yang sudah lebih dari setahun menunggu di Pakistan, mempertimbangkan ancaman deportasi. Putusan itu ditentang pemerintah Jerman saat ini, yang mengajukan banding.
Artikel ini disusun bersama Shabnam Alokozay dan Waheed Ahmady dalam Bahasa Jerman
Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
Editor: Agus Setiawan