60 Tahun Israel. Tanah Air Baru dan Tanah Air Yang Hilang.
7 Mei 2008"Saya menjadi warga Palestina tahun 1936. Saat itu saya baru berusia 13 tahun.” Demikian dikatakan Avital Ben Chorin. Ia sekarang berusia 85 tahun, dan bukan warga Palestina lagi, melainkan Israel. Ia lahir di kota Eisenach di Jerman tahun 1923, sebagai Erika Fackenheim. Sudah sejak dini ia mengenal tradisi Yahudi dan Zionisme. Tiga tahun setelah NAZI mengambilalih kekuasaan, ia memutuskan untuk meninggalkan Jerman dan bermigrasi ke Palestina.
Negara-Negara Tetangga Tidak Menerima
Palestina adalah daerah yang dulu kerap dilanda kerusuhan. Avital menceritakan, ia tiba tepat sepekan setelah mulainya kerusuhan. Saat itu negara-negara Arab tetangga tidak menerima kedatangan imigran. Padahal saat itu, dan juga sebelumnya, wilayah itu penduduknya hanya sedikit. Avital tiba di pelabuhan Haifa, dan kemudian tinggal di Kirjat Bialik. Daerah itu dibuka oleh para imigran dari Jerman. Di situ juga didirikan tempat penampungan anak-anak dan remaja bagi warga Yahudi Jerman. Bagi Avital masa itu sangat indah.
Keputusan PBB tentang pembagian wilayah Timur Tengah ditetapkan November 1947, dan pada tahun berikutnya berdirilah negara Israel. Avital sedang berada di Yerusalem, saat kedua peristiwa penting itu terjadi. Waktu itu ia sudah menikah dengan Shalom Ben Chorin, filosof agama yang berasal dari München. Ia menceritakan, betapa bersukacitanya warga Yahudi, karena akhirnya memiliki negara sendiri.
Awal Pengungsian Warga Palestina
Tetapi bagi warga Palestina, 14 Mei 1948 adalah hari dimulainya pengusiran mereka. Fawaz Abu Sitta adalah salah seorang dari mereka yang keluarganya saat itu kehilangan tempat tinggal. Ia sekarang tinggal di Jalur Gaza.
Fawaz menuturkan, ia berasal dari suku Beduin, yang bertempat tinggal di daerah Beer Sheva. Tanah dan desa keluarganya berbatasan dengan Jalur Gaza. Desa mereka dulu bernama Main Abu Sitta. Yaitu tempat anggota keluarga Abu Sitta hidup. Sampai tahun 1947/48, saat mereka tiba-tiba diusir dari tanah dan desa mereka dengan kekerasan. Demikan diceritakan Fawaz.
Desa tempat tinggal mereka diserang dari tiga arah. Lebih dari 400 anggota keluarga melarikan diri ke Jalur Gaza. Di situ mereka tinggal di kamp pengungsi Khan Yunis, Deir el Balach dan Rafah. Lokasi kamp pengungsi tidak jauh dari rumah mereka dulu. Fawaz lahir tahun 1953. Ia dibesarkan dengan ajaran dan keyakinan, bahwa ia seorang pengungsi yang satu waktu nanti akan kembali ke daerah asal sukunya.
Dukungan untuk Negara Palestina
Sekarang Fawaz sudah tinggal bertahun-tahun di Jerman, di mana ia juga berkenalan dengan istrinya, Anke. Ia sudah melupakan harapan, bahwa ia akan kembali ke daerah asal keluarganya. Ia mendukung didirikannya negara Palestina, di daerah yang 1967 lalu masih menjadi wilayah Palestina, yaitu Jalur Gaza dan Tepi Barat Yordan.
Fawaz mengatakan, ia mewakili sekelompok kecil orang di masyarakat Palestina, yang berpendapat kembalinya warga Palestina sudah tidak dapat dilaksanakan lagi. Ia juga menekankan, kelompok ini hanya sebagian kecil dari kaum intelektual dan orang-orang yang dapat berpikir rasional, yang menyadari ketidakmungkinan itu. Menurut Fawaz, mereka tidak dapat kembali, karena perbedaan kekuatan tidak memungkinkannya, baik sekarang maupun di masa depan. (ml)